--> SUKU - SUKU DI INDONESIA | EDUCATION BLOG'S

Mari tambah pengetahuan dengan membaca

Monday, July 31, 2017

SUKU - SUKU DI INDONESIA

| Monday, July 31, 2017
MACAM -MACAM SUKU DI INDONESIA
LENGKAP DENGAN PENJELASANNYA



SUKU JAWA


Suku Jawa merupakan suku bangsa dengan jumlah populasi terbesar di Indonesia. Hampir 45% penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menghadrikan suatu artikel Antropologi tentang Suku Bangsa Jawa yang meliputi deskripsi mengenai sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem kesenian. Semoga bermanfaat. Check this out!!!

A. Sistem Kepercayaan/Religi
Agama mayoritas dalam suku bangsa Jawa adalah Islam. Selain itu juga terdapat penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Masyarakat Jawa percaya bahwa hidup diatur oleh alam, maka ia bersikap nrimo (pasrah). Masyarakat Jawa percaya keberadaan arwah/ roh leluhur dan makhluk halus seperti lelembut, tuyul, demit, dan jin.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang telah diberi doa sebelumnya. Ada empat selamatan di Jawa sebagai berikut.
1.      Selamatan lingkaran hidup manusia, meliputi: hamil tujuh bulan, potong rambut pertama, kematian, dan kelahiran.
2.      Selamatan bersih desa, upacara sebelum, dan sesudah panen.
3.      Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari/bulan-bulan besar Islam.
4.      Selamatan yang berhubungan dengan peristiwa khusus, perjalanan jauh, ngruwat, dan menempati rumah baru.
Jenis selamatan kematian, meliputi: nelung dina (tiga hari), mitung dina (tujuh hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari), dan nyewu (seribu hari).

B. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa adalah bilateral (garis keturunan ayah dan ibu). Dalam sistem kekerabatan masyarakat Jawa, digunakan istilah-istilah sebagai berikut.
1.         Ego menyebut orang tua laki-laki adalah bapak/rama.
2.         Ego menyebut orang tua perempuan adalah simbok/ biyung.
3.         Ego menyebut kakak laki-laki adalah kang mas, kakang mas.
4.         Ego menyebut kakak perempuan adalah mbakyu.
5.         Ego menyebut adik laki-laki adalah adhi, dhimas, dik, atau le.
6.         Ego menyebut adik perempuan adalah ndhuk, denok, atau di.
Dalam masyarakat Jawa, istilah-istilah di atas merupakan tata cara sopan santun pergaulan yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila melanggar nasihat orang tua akan sengsara atau disebut kuwalat.


C. Sistem Politik
Desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh lurah. Dalam pekerjaannya lurah dan pembantu-pembantunya mempunyai tugas pokok memelihara keamanan desa. Pembantu-pembantu lurah, meliputi:
1.      Carik: pembantu umum/sekretaris desa,
2.      Sosial: memelihara kesejahteraan penduduk,
3.      Kaum: mengurusi soal nikah, rujuk, talak, dan kematian.

D. Sistem Ekonomi
Bertani merupakan mata pencaharian utama. Bertani dilakukan di ladang dan sawah. Selain dari pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan usaha sambilan, seperti mencetak batu bata, membatik, tukang kayu, dan menganyam tikar.

E. Sistem Kesenian
Sistem kesenian pada suku bangsa Jawa mencakup seni bangunan, seni tari, seni musik, dan seni kerajinan.

1. Seni Bangunan
Rumah adat di Jawa Timur disebut rumah Situbondo, sedangkan rumah adat di Jawa Tengah disebut Istana Mangkunegaran. Istana Mangkunegaran merupakan rumah adat Jawa asli.

2. Seni Tari
Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai berikut.
·         Tari tayuban adalah tari untuk meramaikan suasana acara, seperti: khitanan dan perkawinan. Penari tayuban terdiri atas beberapa perempuan.
·         Tari reog dari Ponorogo. Penari utamanya menggunakan topeng.
·         Tari serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan irama lembut.
·         Tari gambyong.
·         Tari bedoyo.

3. Seni Musik
Gamelan merupakan seni musik Jawa yang terkenal. Gamelan terdiri atas gambang, bonang, gender, saron, rebab, seruling, kenong, dan kempul.

4. Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan yang terkenal adalah wayang, selain itu juga kethoprak, ludruk, dan kentrung.



SUKU NIAS


Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang.
Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.

A. Mitologi

Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

B. Marga Nias

Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
Berikut beberapa Marga yang ada di dalam suku Nias :
Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Dakhi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dohude, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Falakhi, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o,Larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze
C. Budaya Nias
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama

 D. Makanan khas

  • Bae - Bae
  • Gowi Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
  • Harinake (daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
  • Godo-godo (ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
  • Köfö-köfö(daging ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
  • Ni'owuru (daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
  • Ratigae (pisang goreng)
  • Tamböyö (ketupat)
  • löma (beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
  • Gae nibogö (pisang bakar)
  • Kazimone (terbuat dari sagu)
  • Wawayasö (nasi pulut)
  • Gulo-Gulo Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
  • Bato (daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
  • Nami (telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang ditambahkan.

 SUKU TORAJA


Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat
A. Sejarah Suku Toraja
Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti kata Toraja,itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:
A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis sidenreng.
Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis luwu ) karena tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja, beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh ini pada tahu 1906.
Kabupaten Tana Toraja, beribukota Makale, terletak sekitar 329 km disebelah utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
  • Sebelah Utara dengan Kabupaten Mamuju
  • Sebelah Timur dengan Kabupaten Luwu
  • Sebelah Selatan dengan Kabupaten Enrekang
  • Sebelah Barat dengan Kabupaten Polmas
Orang Toraja, adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten Tana  Toraja, dan Mamasa. Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan.

Tana Toraja, dikenal oleh dunia bukan saja karena kebudayaan-kebudayaannya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat memukau hati para wisatawan yang berkunjung

B. Sistem kekerabatan atau keluarga suku Toraja
Masyarakat Toraja terbagi atas keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral. Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. 
C. Kelas sosial budaya masyarakat suku Toraja
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati

D. Sistem Religi dan kepercayaan, adat istiadat, suku Toraja
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. 
Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. 
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali.
Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat)
  1. Kasta Tana' Bulaan
  2. Kasta Tana' Bassi
  3. Kasta Tana' Karurung
  4. Kasta Tana' Kua-kua
E. Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon (duduk).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan yaitu :
1.    Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
2.    Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi local
3.    Tongkonan batu adalah tempat tinggal anggota keluarga biasa.

Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

Ukiran kayu
Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.

Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Musik dan Tarian
Tarian suku Toraja biasa dilakukan dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya.
Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

Bahasa
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Beberapa ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

Suku Sunda


Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain.

A. Sistem Kepercayaan/Religi Suku Sunda

Pada saat ini sebagian besar masyarakat Sunda menganut agama Islam. Selain Islam juga terdapat penganut Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Dalam masyarakat Sunda mengenal tahap kehidupan seseorang yang ditandai dengan berbagai upacara dan selamatan, seperti: acara perkawinan, turun tanah, kelahiran, dan sunatan.
Selamatan dipimpin oleh modin desa (guru ngaji) yang diawali dengan al-Fatihah dan diakhiri juga dengan pembacaan surah al-Fatihah. Hidangan selamatan tidak jauh berbeda dengan adat Jawa, yaitu berupa tumpeng.

B. Sistem Kekerabatan Suku Sunda

Sistem kekerabatan masyarakat Sunda adalah bilateral (garis keturunan ayah ataupun ibu). Sistem kekerabatan dan perkawinan dilakukan secara Islam. Bentuk keluarga yang terkenal adalah keluarga batih, yaitu suami, istri, dan anak-anak.
Di Sunda mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah sebagai berikut.
  1. Tujuh generasi ke atas: kolot, embah, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan gantung siwur.
  2. Tujuh generasi ke bawah: anak, incu, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan gantung siwur.

C. Sistem Politik Suku Sunda

Istilah kepala desa, yang bertugas mengurus kepentingan warga desa. Kuwu dipilih oleh rakyat. Dalam menjalankan tugas kuwu dibantu oleh:
1.      seorang juru tulis, bertugas mengurusi pajak dan memelihara arsip;
  1. tiga orang kokolot, bertugas menjalankan perintah/menyampaikan pengaduan rakyat kepada pamong desa;
  2. seorang kulisi, bertugas menjaga keamanan desa;
  3. seorang ulu-ulu, bertugas mengatur pembagian air irigasi;
  4. seorang amil, pertugas mengurusi kematian, kelahiran, rujuk, dan nikah;
  5. tiga pembina desa yang terdiri atas satu orang kepolisian dan dua orang dari angkatan darat.

D. Sistem Ekonomi Suku Sunda

Mata pencaharian saat ini beraneka ragam, antara lain dari sektor perkebunan, perdagangan, dan pertanian. Dalam sektor perdagangan mengalami kemajuan yang pesat. Perkebunan banyak terdapat di daerah ini, seperti perkebunan teh, kelapa sawit, kina, dan tebu. Pertanian dikembangkan di Jawa Barat antara lain padi, jagung, ketela, kacang tanah, dan kedelai.

E. Sistem Kesenian Suku Sunda


1) Seni Bangunan
Rumah adat di Sunda bermodel Keraton Kasepuhan Cirebon yang memiliki empat ruang, yaitu sebagai berikut.
a) Pendopo: tempat untuk penjaga keselamatan sultan.
b) Pringgondani: tempat sultan memberi perintah kepada adipati.
c) Prabayasa: tempat sultan menerima tamu.
d) Panembahan: ruang kerja dan tempat istirahat sultan.
Nama-nama tempat di Sunda banyak menggunakan kata Ci yang artinya air. Misal: Ciamis, Cipanas, Cibatu, dan Cicalengka.
2) Seni Tari
Tari yang populer di Sunda adalah tari jaipong, yaitu paduan tari ketuk tilu dan tari gendong pencok. Seni tari merupakan salah satu daya tarik di tanah parahiyangan. Tari yang lain, yaitu tari kuncoran, tari kupu-kupu, dan tari rimlong.
3) Seni Musik
Alat musik tradisional Sunda adalah angklung, calung, kecapi, dan degung. Alat musik digunakan untuk mengiringi tembang dan kawih. Tembang adalah puisi yang diiringi kecapi dan suling. Kawih adalah lagu bebas yang diiringi dengan angklung dan calung.
4) Seni Sastra
Sunda kaya akan seni sastra, misalnya Prabu Siliwangi yang diungkapkan dalam bentuk pantun, dan Si Kabayan dan Sangkuriang yang diungkapkan dalam bentuk prosa.
5) Seni Pertunjukan
Pertunjukan yang paling terkenal di Sunda adalah wayang golek. Wayang golek adalah boneka kayu dengan penampilan yang sangat menarik dan atraktif.


Suku Sasak


Suku Sasak adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".
Kata Sasak berasal dari kata sak sak, artinya satu satu. Kata sak juga dipakai oleh sebagian suku Dayak di pulau Kalimantan untuk mengatakan satu. Orang Sasak terkenal pintar membuat kain dengan cara menenun, dahulu setiap perempuan akan dikatakan dewasa dan siap berumah tangga jika sudah pandai menenun. Menenun dalam bahasa orang Sasak adalah Sèsèk. Kata sèsèk berasal dari kata sesak,sesek atau saksak. Sèsèk dilakukan dengan cara memasukkan benang satu persatu(sak sak), kemudian benang disesakkan atau dirapatkan hingga sesak dan padat untuk menjadi bentuk kain dengan cara memukul mukulkan alat tenun. Uniknya suara yang terdengar ketika memukul mukul alat tenun itupun terdengar seperti suara sak sak dan hanya dilakukan dua kali saja. Itulah asal kata sasak yang kemudian diambil sebagai nama suku dipulau Lombok. Orang suku Sasak yang mula mula mendiami pulau Lombok menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari hari. Bahasa Sasak sangat dekat dengan bahasa suku Samawa, Bima dan bahkan Sulawesi, terutama Sulawesi Tenggara yang berbahasa Tolaki.

A. Sistem Kepercayaan/Religi

Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan praktik ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".

B. Sistem Kekerabatan
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.

C. Sistem Politik
Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan.
Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak).
Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.


D. Sistem Ekonomi
Sebagian besar suku Sasak hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi di sawah, serta beberapa jenis tanaman lain di ladang dan beberapa tanaman keras di kebun. Sedangkan para perempuan membuat kerajinan tenun yang dikenal dengan nama kain ikat Sasak Lombok yang terkenal dengan keindahannya
E. Sistem Kesenian
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara.
Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.
Salah satu tradisi adat suku Sasak yang populer adalah "Presean". Presean berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjata tongkat rotan (penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras (ende). Petarung biasa disebut pepadu. Presean bermula dari luapan emosi para prajurit jaman dahulu. Acara tarung Presean ini juga diadakan untuk menguji keberanian laki-laki sasak. Selain itu tradisi adat Presean juga salah satu acara untuk memohon hujan bagi suku Sasak di musim kemarau.

Suku Baduy


Suku Baduy/Badui biasa juga dipanggil sebagai orang Kanekes. Kelompok masyarakat etnis ini termaksud sub etnis Sunda yang berasal dari kabupaten Lebak Banten. Suku ini sangat menutup diri dari dunia luar dan juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam
A. Sistem Kepercayaan/Religi
Mereka menganut sistem kepercayaan yang disebut sebagai Sunda Wiwitan dengan pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
B. Sistem Pemerintahan

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

D. Sistem Ekonomi
Pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

E. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar antara lain:
·      Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
·      Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
·      Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
·      Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.
Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.

Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.

Suku Dayak


Suku Dayak ~ Suku yang banyak mendiami pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Suku Dayak disematkan pada penduduk yang menghuni pulau Kalimantan baik di pedalaman maupun pesisir pulau. Di pulau Kalimantan sendiri, tidak hanya dihuni oleh suku Dayak saja, ada juga suku-suku lain seperti Suku Melayu, Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, dan Suku Tidung. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa akan menghadirkan penjelasan mengenai Kebudayaan Suku Bangsa Dayak yang meliputi sistem kepercayaan, kekerabatan, politik, ekonomi, dan kesenian. Semoga bermanfaat. Check this out!!!

A. Sistem Kepercayaan/Religi

Masyarakat Dayak terbagi menjadi beberapa suku, yaitu Ngaju, Ot, Danum, dan Ma’anyan di Kalimantan Tengah. Kepercayaan yang dianut meliputi: agama Islam, Kristen, Katolik, dan Kaharingan (pribumi). Kata Kaharingan diambil dari Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Dalam syair-syair suci suku bangsa Ngaju dunia roh disebut negeri raja yang berpasir emas.

Masyarakat Dayak percaya pada roh-roh:
  1. Sangiang nayu-nayu (roh baik);
  2. Taloh, kambe (roh jahat).
Upacara adat dalam masyarakat Dayak meliputi:
  1. upacara pembakaran mayat,
  2. upacara menyambut kelahiran anak, dan
  3. upacara penguburan mayat.
Upacara pembakaran mayat disebut tiwah dan abu sisa pembakaran diletakkan di sebuah bangunan yang disebut tambak.

B. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan masyarakat Dayak berdasarkan ambilineal yaitu menghitung hubungan masyarakat melalui laki-laki dan sebagian perempuan. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan dengan saudara sepupu yang kakeknya saudara sekandung (hajanen dalam bahasa Ngaju). Masyarakat Dayak tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki bangsa lain asalkan laki-laki itu tunduk dengan adat istiadat.

C. Sistem Politik

Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administrasi. Penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan penghulu sangat terpandang di desa, dahulu jabatan itu dirangkap oleh patih. Ada pula penasihat penghulu disebut mantir. Menurut A.B. Hudson hukum pidana RI telah berlaku pada masyarakat Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada.


D. Sistem Ekonomi

Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian masyarakat Dayak. Selain bertanam padi mereka menanam ubi kayu, nanas, pisang, cabai, dan buah-buahan. Adapun yang banyak ditanam di ladang ialah durian dan pinang. Selain bercocok tanam mereka juga berburu rusa untuk makanan sehari-hari. Alat yang digunakan meliputi dondang, lonjo (tombak), dan ambang (parang). Masyarakat Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan, tikar, topi, yang dijual ke Kuala Kapuas, Banjarmasin, dan Sampit.

E. Sistem Kesenian

Seni tari Dayak adalah tari tambu dan bungai yang bertema kepahlawanan, serta tari balean dadas, bertema permohonan kesembuhan dari sakit. Rumah adat Dayak adalah rumah betang yang dihuni lebih dari 20 kepala keluarga. Rumah betang terdiri atas enam kamar, yaitu kamar untuk menyimpan alat perang, kamar gadis, kamar upa-cara adat, kamar agama, dan kamar tamu.


Suku Dani


Suku Dani merupakan salah satu dari banyaknya suku di tanah papua yang mendiami wilayah Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, dan keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya. Sejak ratusan tahun lalu suku Dani dikenal sebagai petani yang terampil dan telah menggunakan alat/perkakas seperti kapak batu, pisau yang dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.
Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).
Suku ini pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Dan orang yang pertama berinteraksi dengan suku ini adalah tim penyidik asal Amerika Serikat yang dipimpin oleh Richard tahun 1935.
A. Pakaian Adat
Pakaian adat Suku Dani untuk pria menggunakan ''koteka'' (yaitu penutup kemaluan pria). Koteka terbuat dari kunden (labu kuning). Sedangkan pakaian adat para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat.

B. Bahasa Suku Dani
Suku Dani memiliki 3 sub keluarga bahasa, yaitu:
1.         Sub keluarga Wano di Bokondini
2.        Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar Dugawa.
3.        Sub keluarga Nggalik & ndash
Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum).

C. Kepercayaan
Kepercayaan dasar suku Dani masih menganut kepercayaan menghormati roh nenek moyang. Upacara kepercayaan diselenggarakan dengan pesta babi. Konsep kepercayaannnya adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti tersebut meliputi:
  1. kekuatan menjaga kebun
  2. kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
  3. kekuatan menyuburkan tanah.
Sebagai tanda untuk menghormati nenek moyangnya mereka membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga ada upacara keagamaan yang disebut Kaneka Hagasir menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

D. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu :
1.      Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).

2.      Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)

3.      Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
E.Pernikahan
Pernikahan orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 dan 4 slimo yang dihuni 8 dan 10 keluarga.

F. Kesenian
Masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Selain itu juga terdapat beberapa peralatan yang terbuat dari bata seperti Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.
G. Politik dan Kemasyarakatan yang Bersahaja
Masyarakat Dani senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
  2. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
  3. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
  4. Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.
  5. Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.
  6. Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani : Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.
H. Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi. Tanaman umum yang mereka tanam adalah Umbi manis pisang, tebu, dan tembakau. Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari suku Dani. Kandang Babi bernama wamai (wam = babi; ai = rumah) berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu.
Kegunaan Babi bagi masyarakat Dani :
  1. Dagingnya untuk dikonsumsi
  2. Darahnya dipakai dalam upacara magis
  3. Tulang-tulang dan ekornya untuk hiasan
  4. Tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
  5. Sebagai alat pertukaran/barter
  6. Menciptakan perdamaian bila ada perselisihan
Suku Dani berdagang dengan masyarakat sekitar dengan barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.

I. Rumah Adat
Rumah adat suku Dani disebut dengan Honai dan Ebe’ai. Ukurannya tergolong kecil dengan bentuk bundar, berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan). Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan.
J. Tradisi Potong Jari
Salah satu tradisi yang tidak lazim di masyarakat suku Dani adalah tradisi potong jari. Tradisi tersebut dilakukan dengan cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Mereka melakukan potong jari untuk mengembalikan kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Bukan cuman satu jari saja yang dipotong, bahkan kadang sampai semua jarinya dipotong. Namun dari beberapa sumber, tradisi ini hanya berlaku bagi kaum wanita saja. Seiring berkembangnya jaman dan masuknya agama-agama, tradisi potong jari ini sudah hampir ditinggalkan.

Related Posts

No comments:

Post a Comment