MACAM -MACAM SUKU DI INDONESIA
LENGKAP DENGAN PENJELASANNYA
LENGKAP DENGAN PENJELASANNYA
SUKU JAWA
Suku Jawa
merupakan suku bangsa dengan jumlah populasi terbesar di Indonesia. Hampir 45%
penduduk Indonesia berasal dari etnis Jawa. Nah, pada kesempatan kali ini Zona
Siswa akan menghadrikan suatu artikel Antropologi tentang Suku Bangsa Jawa
yang meliputi deskripsi mengenai sistem kepercayaan, sistem kekerabatan, sistem
politik, sistem ekonomi, dan sistem kesenian. Semoga bermanfaat. Check this
out!!!
A.
Sistem Kepercayaan/Religi
Agama mayoritas dalam suku bangsa Jawa adalah Islam. Selain
itu juga terdapat penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Masyarakat Jawa percaya bahwa hidup diatur oleh alam, maka ia bersikap nrimo
(pasrah). Masyarakat Jawa percaya keberadaan arwah/ roh leluhur dan makhluk
halus seperti lelembut, tuyul, demit, dan jin.
Selamatan adalah upacara makan bersama yang telah diberi doa
sebelumnya. Ada empat selamatan di Jawa sebagai berikut.
1. Selamatan lingkaran hidup manusia,
meliputi: hamil tujuh bulan, potong rambut pertama, kematian, dan kelahiran.
2. Selamatan bersih desa, upacara
sebelum, dan sesudah panen.
3. Selamatan yang berhubungan dengan
hari-hari/bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berhubungan dengan
peristiwa khusus, perjalanan jauh, ngruwat, dan menempati rumah baru.
Jenis
selamatan kematian, meliputi: nelung dina (tiga hari), mitung dina (tujuh
hari), matang puluh dina (empat puluh hari), nyatus (seratus hari), dan nyewu
(seribu hari).
B.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa adalah bilateral (garis
keturunan ayah dan ibu). Dalam sistem kekerabatan masyarakat Jawa, digunakan
istilah-istilah sebagai berikut.
1.
Ego
menyebut orang tua laki-laki adalah bapak/rama.
2.
Ego
menyebut orang tua perempuan adalah simbok/ biyung.
3.
Ego
menyebut kakak laki-laki adalah kang mas, kakang mas.
4.
Ego
menyebut kakak perempuan adalah mbakyu.
5.
Ego
menyebut adik laki-laki adalah adhi, dhimas, dik, atau le.
6.
Ego
menyebut adik perempuan adalah ndhuk, denok, atau di.
Dalam masyarakat Jawa, istilah-istilah di atas merupakan
tata cara sopan santun pergaulan yang harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Apabila melanggar nasihat orang tua akan sengsara atau disebut
kuwalat.
C.
Sistem Politik
Desa di Jawa disebut kelurahan yang dikepalai oleh lurah.
Dalam pekerjaannya lurah dan pembantu-pembantunya mempunyai tugas pokok
memelihara keamanan desa. Pembantu-pembantu lurah, meliputi:
1. Carik: pembantu umum/sekretaris
desa,
2. Sosial: memelihara kesejahteraan
penduduk,
3. Kaum: mengurusi soal nikah, rujuk,
talak, dan kematian.
D.
Sistem Ekonomi
Bertani merupakan mata pencaharian utama. Bertani dilakukan
di ladang dan sawah. Selain dari pertanian, masyarakat Jawa juga menjalankan
usaha sambilan, seperti mencetak batu bata, membatik, tukang kayu, dan
menganyam tikar.
E.
Sistem Kesenian
Sistem kesenian pada suku bangsa Jawa mencakup seni
bangunan, seni tari, seni musik, dan seni kerajinan.
1.
Seni Bangunan
Rumah adat di Jawa Timur disebut rumah Situbondo, sedangkan rumah
adat di Jawa Tengah disebut Istana Mangkunegaran. Istana Mangkunegaran
merupakan rumah adat Jawa asli.
2.
Seni Tari
Tarian-tarian di Jawa beraneka ragam di antaranya sebagai
berikut.
·
Tari
tayuban adalah tari untuk meramaikan suasana acara, seperti: khitanan dan
perkawinan. Penari tayuban terdiri atas beberapa perempuan.
·
Tari
reog dari Ponorogo. Penari utamanya menggunakan topeng.
·
Tari
serimpi adalah tari yang bersifat sakral dengan irama lembut.
·
Tari
gambyong.
·
Tari
bedoyo.
3.
Seni Musik
Gamelan merupakan seni musik Jawa yang terkenal. Gamelan
terdiri atas gambang, bonang, gender, saron, rebab, seruling, kenong, dan
kempul.
4.
Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan yang terkenal adalah wayang, selain itu
juga kethoprak, ludruk, dan kentrung.
SUKU NIAS
Suku Nias adalah
kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias
menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha =
manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah).
Suku Nias adalah
masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi.
Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup
dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada
batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai
sekarang.
Kasta : Suku Nias
mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang
tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang
harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
A. Mitologi
Menurut masyarakat Nias, salah
satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut
"Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama
"Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan
manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9
orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta
Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang
menginjakkan kaki di Pulau Nias.
B.
Marga Nias
Suku Nias
menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya
berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.
Berikut beberapa Marga yang ada di dalam suku Nias :
Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Dakhi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dohude, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Falakhi, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o,Larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze
Berikut beberapa Marga yang ada di dalam suku Nias :
Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Dakhi, Daeli, Daya, Dohare, Dohöna, Duha, Duho, Dohude, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Falakhi, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndu go'o,Larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze
C. Budaya Nias
- Fahombo
(Lompat Batu)
- Fataele/Foluaya(Tari
Perang)
- Maena
(Tari berkoelompok)
- Tari Moyo
(Tari Elang)
- Tari Mogaele
- Fangowai
(Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
- Fame
Ono nihalo (Pernikahan)
- Omo Hada
(Rumah Adat)
- Fame'e
Tõi Nono Nihalõ (Pemberian nama bagi perempuan
yang sudah menikah)
- Fasösö Lewuö
(Menggunakan adu bambu untuk menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam budaya Ono Niha (Nias)
terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam “Ya’ahowu”
(dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti
Ya’ahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan
diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu
menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan
pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut
memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya
menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang
diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta
menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang
terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang
sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama
D. Makanan khas
- Bae
- Bae
- Gowi
Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
- Harinake
(daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
- Godo-godo
(ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus
setelah matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
- Köfö-köfö(daging
ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
- Ni'owuru
(daging babi yang sengaja diasinkan agar bisa bertahan lama)
- Ratigae
(pisang goreng)
- Tamböyö
(ketupat)
- löma
(beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
- Gae
nibogö (pisang bakar)
- Kazimone
(terbuat dari sagu)
- Wawayasö
(nasi pulut)
- Gulo-Gulo
Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
- Bato
(daging kepiting yang dipadatkan dalam bentuk bulat agar dapat bertahan
lama; terdapat di Kepulauan Hinako)
- Nami
(telur kepiting dapat berupa nami segar atau yang telah diasinkan agar
awet, dapat bertahan hingga berbulan-bulan tergantung kadar garam yang
ditambahkan.
SUKU TORAJA
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta
jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja,
Kabupaten Toraja Utara,
dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari
bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang
yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja
pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman
Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja
tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh
oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana
Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia.
Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh
antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat
A. Sejarah Suku Toraja
Sebelum kata Toraja, digunakan Tondok Lepongan Bulan, To
Raja digunakan untuk nama suatu negeri yang sekarang dinamakan Tana Toraja,Arti
kata Toraja,itu sendiri ada beberapa pendapat sebagai berikut:
A.Adriani mengartikan TO RAJA adalah orang yang berdiam
diatas pegunungan. Kata Toraja, itu berasal suku bugis sidenreng.
Ada pendapat juga yang mengatakan To Raja ( bahasa bugis
luwu ) karena tana Toraja, terletak di sebelah barat luwu.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Toraja,itu berasal dari
seorang raja Tondok Lepongan Bulan yang bernama laki padada yang ke gowa pada
akhir abad ke 13. Dalam sejarah Toraja, Laki padada adalah seorang cucu raja
yang pergi mengembara untuk mencari hidup yang abadi kemudian tiba dikerajaan
Gowa. Pada mulanya penduduk Toraja, beragama Aluk Todolo (Agama Leluhur) tetapi
pada awal abad 19 pengaruh agama Islam mulai masuk terutama pada bagian
selatan. Kemudian dengan adanya Pemerintah Kolonial Belanda didaerah tersebut
maka agama Kristen masuk kedaerah ini lalu mempengaruhi kebudayaan asli daereh
ini pada tahu 1906.
Kabupaten Tana Toraja, beribukota Makale, terletak sekitar
329 km disebelah utara kota Makasar dengan batas-batas wilayah :
- Sebelah Utara dengan Kabupaten
Mamuju
- Sebelah Timur dengan Kabupaten
Luwu
- Sebelah Selatan dengan
Kabupaten Enrekang
- Sebelah Barat dengan Kabupaten
Polmas
Orang Toraja, adalah penduduk Sulawesi Tengah, untuk
sebagian juga mendiami propinsi Sulawesi Selatan yaitu wilayah dari kabupaten
Tana Toraja, dan Mamasa. Mereka biasanya disebut orang Toraja Sa’dan.
Tana Toraja, dikenal oleh dunia bukan saja karena
kebudayaan-kebudayaannya yang unik, orisinil dan sarat akan keindahan seni
tetapi juga karena keaslian, keasrian dan keindahan alamnya yang selalu dapat
memukau hati para wisatawan yang berkunjung
B. Sistem kekerabatan atau keluarga
suku Toraja
Masyarakat Toraja terbagi atas
keluarga inti, penanggung jawab keluarga adalah ayah dan diganti anak laki-laki
bila meninggal sedangkan ibu hanya mendidik anak dan menjaga nama baik
keluarga. Masyarakat Toraja mengikuti garis keturunan Bilateral. Keluarga
adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah
suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu
jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat
(sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung
secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari
keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu
dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas
dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu,
ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi
oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan
pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan
babi dalam ritual.
C. Kelas sosial budaya masyarakat
suku Toraja
Dalam masyarakat Toraja awal,
hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas
sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun
1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu.
Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya
sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata
tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak
tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka.
Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja
merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak
karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa
dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli
kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak
tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman
bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati
D. Sistem Religi dan kepercayaan, adat istiadat, suku Toraja
Sistem kepercayaan tradisional suku
Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau
"jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang
kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.
Pada awalnya, surga dan bumi menikah
dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal
di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang
dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga
terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja
lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan),
dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan
tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara
pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan.
Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan.
Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum
yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus
dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual
kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual
kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris
dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.
Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Di Tana Toraja dikenal
pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin
karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan
pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali.
Kasta
atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat)
- Kasta
Tana' Bulaan
- Kasta
Tana' Bassi
- Kasta
Tana' Karurung
- Kasta Tana' Kua-kua
E.
Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan
adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan
ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal
dari bahasa Toraja tongkon (duduk).
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja,
tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku
Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan yaitu :
1.
Tongkonan
layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan".
2.
Tongkonan
pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam
adat dan tradisi local
3.
Tongkonan
batu adalah tempat tinggal anggota keluarga biasa.
Eksklusifitas
kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa
yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
Untuk
menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan
menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu,
ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki
nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan
hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
Upacara pemakaman
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas,
selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara
pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan
sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal
di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya.
Bagian
lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang
maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang
diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan
bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat
karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga
cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu
berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau
biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau
anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan
selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Tarian
suku Toraja biasa dilakukan dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk
menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan
menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria
membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari
kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji
keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya.
Tarian Ma'randing mengawali
prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan
tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan
hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok
anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang
disebut Ma'dondan.
Suku
Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan
untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya
tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh
tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan
bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya
bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang
penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling
pohon suci.
Alat musik
tradisional Toraja adalah suling bambu yang
disebut Pa'suling. Suling ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada
tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria
yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga
mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika
upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa
Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Bahasa Toraja
adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek
bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah
bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Beberapa
ragam bahasa di Toraja antara
lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa
Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat
geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa
Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa
dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang
menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Bahasa
Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan,
depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang
Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Suku Sunda
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang
berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan
yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta,
Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis
kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia
merupakan orang Sunda.
Mayoritas orang Sunda beragama Islam,
akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda
Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas
pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak
Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Orang Sunda dikenal memiliki sifat
optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam Suma
Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga
adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan
bangsa lain.
A.
Sistem Kepercayaan/Religi Suku Sunda
Pada
saat ini sebagian besar masyarakat Sunda menganut agama Islam. Selain Islam
juga terdapat penganut Katolik, Kristen, Hindu, dan Buddha. Dalam masyarakat
Sunda mengenal tahap kehidupan seseorang yang ditandai dengan berbagai upacara
dan selamatan, seperti: acara perkawinan, turun tanah, kelahiran, dan sunatan.
Selamatan
dipimpin oleh modin desa (guru ngaji) yang diawali dengan al-Fatihah dan
diakhiri juga dengan pembacaan surah al-Fatihah. Hidangan selamatan tidak jauh
berbeda dengan adat Jawa, yaitu berupa tumpeng.
B.
Sistem Kekerabatan Suku Sunda
Sistem
kekerabatan masyarakat Sunda adalah bilateral (garis keturunan ayah ataupun
ibu). Sistem kekerabatan dan perkawinan dilakukan secara Islam. Bentuk keluarga
yang terkenal adalah keluarga batih, yaitu suami, istri, dan anak-anak.
Di
Sunda mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah sebagai berikut.
- Tujuh
generasi ke atas: kolot, embah, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan
gantung siwur.
- Tujuh
generasi ke bawah: anak, incu, buyut, bao, jangga wareng, udeg-udeg, dan
gantung siwur.
C.
Sistem Politik Suku Sunda
Istilah
kepala desa, yang bertugas mengurus kepentingan warga desa. Kuwu dipilih oleh
rakyat. Dalam menjalankan tugas kuwu dibantu oleh:
1. seorang
juru tulis, bertugas mengurusi pajak dan memelihara arsip;
- tiga
orang kokolot, bertugas menjalankan perintah/menyampaikan pengaduan rakyat
kepada pamong desa;
- seorang
kulisi, bertugas menjaga keamanan desa;
- seorang
ulu-ulu, bertugas mengatur pembagian air irigasi;
- seorang
amil, pertugas mengurusi kematian, kelahiran, rujuk, dan nikah;
- tiga
pembina desa yang terdiri atas satu orang kepolisian dan dua orang dari
angkatan darat.
D.
Sistem Ekonomi Suku Sunda
Mata
pencaharian saat ini beraneka ragam, antara lain dari sektor perkebunan,
perdagangan, dan pertanian. Dalam sektor perdagangan mengalami kemajuan yang
pesat. Perkebunan banyak terdapat di daerah ini, seperti perkebunan teh, kelapa
sawit, kina, dan tebu. Pertanian dikembangkan di Jawa Barat antara lain padi,
jagung, ketela, kacang tanah, dan kedelai.
E.
Sistem Kesenian Suku Sunda
1) Seni
Bangunan
Rumah
adat di Sunda bermodel Keraton Kasepuhan Cirebon yang memiliki empat ruang,
yaitu sebagai berikut.
a)
Pendopo: tempat untuk penjaga keselamatan sultan.
b)
Pringgondani: tempat sultan memberi perintah kepada adipati.
c)
Prabayasa: tempat sultan menerima tamu.
d)
Panembahan: ruang kerja dan tempat istirahat sultan.
Nama-nama
tempat di Sunda banyak menggunakan kata Ci yang artinya air. Misal: Ciamis,
Cipanas, Cibatu, dan Cicalengka.
2)
Seni Tari
Tari
yang populer di Sunda adalah tari jaipong, yaitu paduan tari ketuk tilu dan
tari gendong pencok. Seni tari merupakan salah satu daya tarik di tanah
parahiyangan. Tari yang lain, yaitu tari kuncoran, tari kupu-kupu, dan tari
rimlong.
3)
Seni Musik
Alat
musik tradisional Sunda adalah angklung, calung, kecapi, dan degung. Alat musik
digunakan untuk mengiringi tembang dan kawih. Tembang adalah puisi yang
diiringi kecapi dan suling. Kawih adalah lagu bebas yang diiringi dengan
angklung dan calung.
4)
Seni Sastra
Sunda
kaya akan seni sastra, misalnya Prabu Siliwangi yang diungkapkan dalam bentuk
pantun, dan Si Kabayan dan Sangkuriang yang diungkapkan dalam bentuk prosa.
5)
Seni Pertunjukan
Pertunjukan
yang paling terkenal di Sunda adalah wayang golek. Wayang golek adalah boneka
kayu dengan penampilan yang sangat menarik dan atraktif.
Suku Sasak
Suku Sasak
adalah sukubangsa yang mendiami pulau Lombok dan
menggunakan bahasa
Sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam,
uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam
yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu
Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan
praktik ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut
kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".
Kata Sasak berasal dari kata sak sak,
artinya satu satu. Kata sak juga dipakai oleh sebagian suku Dayak di pulau
Kalimantan untuk mengatakan satu. Orang Sasak terkenal pintar membuat kain
dengan cara menenun, dahulu setiap perempuan akan dikatakan dewasa dan siap
berumah tangga jika sudah pandai menenun. Menenun dalam bahasa orang Sasak
adalah Sèsèk. Kata sèsèk berasal dari kata sesak,sesek atau saksak. Sèsèk
dilakukan dengan cara memasukkan benang satu persatu(sak sak), kemudian benang
disesakkan atau dirapatkan hingga sesak dan padat untuk menjadi bentuk kain
dengan cara memukul mukulkan alat tenun. Uniknya suara yang terdengar ketika
memukul mukul alat tenun itupun terdengar seperti suara sak sak dan hanya
dilakukan dua kali saja. Itulah asal kata sasak yang kemudian diambil sebagai
nama suku dipulau Lombok. Orang suku Sasak yang mula mula mendiami pulau Lombok
menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa sehari hari. Bahasa Sasak sangat dekat
dengan bahasa suku Samawa, Bima dan bahkan Sulawesi, terutama Sulawesi Tenggara
yang berbahasa Tolaki.
A.
Sistem Kepercayaan/Religi
Sebagian besar
suku Sasak beragama Islam,
uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam
yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu
Telu, namun hanya berjumlah sekitar 1% yang melakukan
praktik ibadah seperti itu. Ada pula sedikit warga suku Sasak yang menganut
kepercayaan pra-Islam yang disebut dengan nama "Sasak Boda".
B.
Sistem Kekerabatan
Landasan sistem
sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan
dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa kasus hubungan
masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan
diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan
yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak
dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi
Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki
ayah), dan anak-anak mereka.
Wiring Kadang juga mengatur
tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, masalah
warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka dapat
berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan
leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa
dengan harta waris yang disebut pusaka.
C.
Sistem Politik
Suku Sasak pada
masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama,
yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama
atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa
ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa)
sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan
penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain
itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk
perempuan.
Seorang Raden jika
menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan
pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui
serangkaian upacara kerajaan.
Bangsawan rendahan (triwangsa)
biasanya menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya dan baiq
untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau
masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq
dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa
dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak
ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan
Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut
permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat
pembantu kerajaan).
Masyarakat Sasak sangat
menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau
berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra,
terdapat hak tanah perdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas
dari kewajiban pajak).
Setiap penduduk mempunyai
kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan
ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan
memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
D.
Sistem Ekonomi
Sebagian besar
suku Sasak hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi di sawah, serta
beberapa jenis tanaman lain di ladang dan beberapa tanaman keras di kebun.
Sedangkan para perempuan membuat kerajinan tenun yang dikenal dengan nama kain
ikat Sasak Lombok yang terkenal dengan keindahannya
E.
Sistem Kesenian
Dari sejarahnya
yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak
mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya demikian,
kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang khas,
asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di
Nusantara.
Kini, Sasak
bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan
entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata
dunia.
Salah satu tradisi adat suku Sasak
yang populer adalah "Presean". Presean berupa pertarungan dua lelaki
Sasak bersenjata tongkat rotan (penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal
dan keras (ende). Petarung biasa disebut pepadu. Presean bermula dari luapan
emosi para prajurit jaman dahulu. Acara tarung Presean ini juga diadakan untuk
menguji keberanian laki-laki sasak. Selain itu tradisi adat Presean juga salah
satu acara untuk memohon hujan bagi suku Sasak di musim kemarau.
Suku Baduy
Suku Baduy/Badui biasa juga dipanggil
sebagai orang Kanekes. Kelompok masyarakat etnis ini termaksud sub etnis Sunda
yang berasal dari kabupaten Lebak Banten. Suku ini sangat menutup
diri dari dunia luar dan juga memiliki keyakinan tabu untuk
difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam
A. Sistem
Kepercayaan/Religi
Mereka
menganut sistem kepercayaan yang disebut sebagai Sunda Wiwitan dengan
pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
B. Sistem Pemerintahan
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada
di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes
yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada
kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
D. Sistem Ekonomi
Pencaharian utama masyarakat Kanekes
adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
E.
Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua
kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut
dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes.
Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung.
Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang
mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan
pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan
masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar antara
lain:
· Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya
tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
· Proses
Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy
Dalam. (BL)
· Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan
bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong
dan celana jeans. (BL)
· Kelompok
masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar
mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat
Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang
tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana.
Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku
Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk
kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang
harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu
Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di
luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang
memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan
Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan
Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan
Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya
luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar,
suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak
mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga
Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat
mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai
pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok.
Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang
di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para
perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian
modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan
bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5
orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat taat pada
pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali
hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan
peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh
seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat
dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun
Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya
pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan
pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar
sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah
yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Suku Dayak
Suku Dayak
~ Suku yang banyak mendiami pulau Kalimantan adalah Suku Dayak. Suku Dayak
disematkan pada penduduk yang menghuni pulau Kalimantan baik di pedalaman
maupun pesisir pulau. Di pulau Kalimantan sendiri, tidak hanya dihuni oleh suku
Dayak saja, ada juga suku-suku lain seperti Suku Melayu, Suku Banjar, Suku
Kutai, Suku Berau, dan Suku Tidung. Nah, pada kesempatan kali ini Zona Siswa
akan menghadirkan penjelasan mengenai Kebudayaan Suku Bangsa Dayak yang
meliputi sistem kepercayaan, kekerabatan, politik, ekonomi, dan kesenian.
Semoga bermanfaat. Check this out!!!
A.
Sistem Kepercayaan/Religi
Masyarakat Dayak terbagi menjadi beberapa suku, yaitu Ngaju,
Ot, Danum, dan Ma’anyan di Kalimantan Tengah. Kepercayaan yang dianut meliputi:
agama Islam, Kristen, Katolik, dan Kaharingan (pribumi). Kata Kaharingan
diambil dari Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan. Dalam syair-syair
suci suku bangsa Ngaju dunia roh disebut negeri raja yang berpasir emas.
Masyarakat
Dayak percaya pada roh-roh:
- Sangiang nayu-nayu (roh baik);
- Taloh, kambe (roh jahat).
Upacara
adat dalam masyarakat Dayak meliputi:
- upacara pembakaran mayat,
- upacara menyambut kelahiran
anak, dan
- upacara penguburan mayat.
Upacara pembakaran mayat disebut tiwah dan abu sisa
pembakaran diletakkan di sebuah bangunan yang disebut tambak.
B.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dayak berdasarkan ambilineal
yaitu menghitung hubungan masyarakat melalui laki-laki dan sebagian perempuan.
Perkawinan yang ideal adalah perkawinan dengan saudara sepupu yang kakeknya
saudara sekandung (hajanen dalam bahasa Ngaju). Masyarakat Dayak tidak melarang
gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki bangsa lain asalkan laki-laki itu
tunduk dengan adat istiadat.
C.
Sistem Politik
Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal
dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administrasi. Penghulu
sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan penghulu sangat
terpandang di desa, dahulu jabatan itu dirangkap oleh patih. Ada pula penasihat
penghulu disebut mantir. Menurut A.B. Hudson hukum pidana RI telah berlaku pada
masyarakat Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada.
D.
Sistem Ekonomi
Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian masyarakat
Dayak. Selain bertanam padi mereka menanam ubi kayu, nanas, pisang, cabai, dan
buah-buahan. Adapun yang banyak ditanam di ladang ialah durian dan pinang.
Selain bercocok tanam mereka juga berburu rusa untuk makanan sehari-hari. Alat
yang digunakan meliputi dondang, lonjo (tombak), dan ambang (parang). Masyarakat
Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan, tikar, topi, yang dijual ke
Kuala Kapuas, Banjarmasin, dan Sampit.
E.
Sistem Kesenian
Seni tari Dayak adalah tari tambu dan bungai yang bertema
kepahlawanan, serta tari balean dadas, bertema permohonan kesembuhan dari
sakit. Rumah adat Dayak adalah rumah betang yang dihuni lebih dari 20 kepala
keluarga. Rumah betang terdiri atas enam kamar, yaitu kamar untuk menyimpan
alat perang, kamar gadis, kamar upa-cara adat, kamar agama, dan kamar tamu.
Suku Dani
Suku Dani merupakan salah satu dari
banyaknya suku di tanah papua yang mendiami wilayah Lembah Baliem, Pegunungan
Tengah, dan keseluruhan Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak
Jaya. Sejak ratusan tahun lalu suku Dani dikenal sebagai petani yang terampil dan
telah menggunakan alat/perkakas seperti kapak batu, pisau yang dibuat dari
tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan kayu galian yang
terkenal sangat kuat dan berat.
Menurut mitologi suku Dani berasal dari
keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung
Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro.
Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya
berprinsip eksogami Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).
Suku ini pertama kali diketahui di
Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Dan orang yang
pertama berinteraksi dengan suku ini adalah tim penyidik asal Amerika Serikat
yang dipimpin oleh Richard tahun 1935.
A. Pakaian Adat
Pakaian adat Suku Dani untuk pria
menggunakan ''koteka'' (yaitu penutup kemaluan pria). Koteka terbuat dari
kunden (labu kuning). Sedangkan pakaian adat para wanita menggunakan pakaian
wah berasal dari rumput/serat.
B. Bahasa Suku Dani
B. Bahasa Suku Dani
Suku Dani memiliki 3 sub keluarga
bahasa, yaitu:
1.
Sub
keluarga Wano di Bokondini
2.
Sub
keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan logat lembah Besar
Dugawa.
3.
Sub
keluarga Nggalik & ndash
Bahasa suku Dani termasuk keluarga
bahasa Melansia dan bahasa Papua tengah (secara umum).
C. Kepercayaan
C. Kepercayaan
Kepercayaan dasar suku Dani masih
menganut kepercayaan menghormati roh nenek moyang. Upacara kepercayaan
diselenggarakan dengan pesta babi. Konsep kepercayaannnya adalah Atou, yaitu
kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan
kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti tersebut meliputi:
- kekuatan menjaga kebun
- kekuatan menyembuhkan penyakit
dan menolak bala
- kekuatan menyuburkan tanah.
Sebagai
tanda untuk menghormati nenek moyangnya mereka membuat lambang nenek moyang
yang disebut Kaneka. Selain itu juga ada upacara keagamaan yang disebut Kaneka
Hagasir menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan
mengakhiri perang.
D. Sistem Kekerabatan
D. Sistem Kekerabatan
Sistem
kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu :
1.
Kelompok
kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas.
Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama
menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
2.
Paroh
masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen
kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
3.
Kelompok
teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani
adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang
patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
E.Pernikahan
Pernikahan
orang Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal
di satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari
3 dan 4 slimo yang dihuni 8 dan 10 keluarga.
F. Kesenian
F. Kesenian
Masyarakat Dani mempunyai seni
kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Selain
itu juga terdapat beberapa peralatan yang terbuat dari bata seperti Moliage,
Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.
G. Politik dan Kemasyarakatan yang
Bersahaja
Masyarakat Dani senantiasa hidup
berdampingan dan saling tolong menolong, kehidupan masyarakat Dani memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
- Masyarakat Dani memiliki
kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
- Setiap rencana pendirian rumah
selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat
atau kepala suku
- Organisasi kemasyarakat pada
suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan
berdasarkan kesatuan teritorial.
- Suku Dani dipimpin oleh seorang
kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang memimpin desa adat watlangka,
selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain
dan memegang bidang sendiri & ndash; sendiri, mereka adalah : Ap.
Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat
biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam masyarakat Dani tidak ada sistem
pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.
- Pada tingkat uma, pemimpinnya
adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi masih mampu mengatur urusannya
dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan tersebut antara
lain pemeliharaan kebun dan Bahi serta melerai pertengkaran.
- Pemimpin federasi berwenang
untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain. Pertempuran
dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah juga
menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin
masyarakat Dani : Pandai bercocok tanam, bersifat ramah dan murah hati,
pandai berburu, memiliki kekuatan fisik dan keberanian, pandai
berdiplomasi, dan pandai berperang.
H. Mata
Pencaharian
Mata
pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam dan beternak babi.
Tanaman umum yang mereka tanam adalah Umbi manis pisang, tebu, dan tembakau.
Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi. Babi memiliki
peran penting dalam kehidupan sehari-hari suku Dani. Kandang Babi bernama wamai
(wam = babi; ai = rumah) berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang
bentuknya hampir sama dengan hunu.
Kegunaan Babi bagi masyarakat Dani :
Kegunaan Babi bagi masyarakat Dani :
- Dagingnya untuk dikonsumsi
- Darahnya dipakai dalam upacara
magis
- Tulang-tulang dan ekornya untuk
hiasan
- Tulang rusuknya digunakan untuk
pisau pengupas ubi
- Sebagai alat pertukaran/barter
- Menciptakan perdamaian bila ada
perselisihan
Suku Dani berdagang dengan
masyarakat sekitar dengan barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk
membuat kapak, kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.
I. Rumah Adat
I. Rumah Adat
Rumah adat suku Dani disebut dengan
Honai dan Ebe’ai. Ukurannya tergolong kecil dengan bentuk bundar, berdinding
kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang.
Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan). Perbedaan antara Honai dan
Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki,
sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan.
J. Tradisi Potong Jari
Salah satu tradisi yang tidak lazim di
masyarakat suku Dani adalah tradisi potong jari. Tradisi tersebut dilakukan
dengan cara menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan anggota
keluarga yang meninggal dunia. Mereka melakukan potong jari untuk mengembalikan
kembali perasaan sakit akibat kehilangan. Bukan cuman satu jari saja yang
dipotong, bahkan kadang sampai semua jarinya dipotong. Namun dari beberapa
sumber, tradisi ini hanya berlaku bagi kaum wanita saja. Seiring berkembangnya
jaman dan masuknya agama-agama, tradisi potong jari ini sudah hampir ditinggalkan.
No comments:
Post a Comment